Thursday, December 2, 2010

Ibu...

Pagi ini matahari seakan muncul lebih awal. Warnanya ke emas-emasan dihiasi awan-awan halus berwarna orange tua, ada sebagian awan yang terlihat seperti sisik warna hitam. Ditemani nyanyian burung dan dedaunan yang bergoyang ditiup angin pagi, aku duduk dibalai asik memandang mentari yang bersinar dari ufuk timur. Aku hanyut terbawa indahnya sang mentari pagi.

"Randy, airnya sudah matang belum?" teriak ibuku yang terbaring lemas dikamar yang terbuat dari bilik bambu. Sudah sebulan ibuku menderita sakit. Aku tak pernah tahu ibuku sakit apa, la tidak pernah dibawa kedokter dengan alasan ekonomi dan jauhnya tempat dimana dokter prakter. Maklum rumahku jauh dari keramaian atau mungkin lebih pas disebut 'tengah hutan' karna jaraknya yang jauh ke tempat keramaian kota. Untuk sampai ke jalan raya saja kami harus melewati hutan dan naik turun bukit. Di kampung kami banyak sawah-sawah dan perkebunan kelapa. Ciwadung nama kampungku. Asri, indah, nyaman dan aman.

"Belum bu" sahutku sambil lari mengambil teko aluminium yang tergantung diatas dinding kayu berbilik bambu. Aku lupa kalau ibuku tadi menyuruhku memasak air untuk membuat teh untuknya.
Ayahku hari ini sedang ke sawah, dia biasanya sudah berangkat pagi-pagi sekali. Di Desaku tiap pagi selalu ramai oleh sibuknya para orang tua yang menuju sawah dan kebun. Tak jarang, aku juga sering ikut bersama ayah dan ibuku ke sawah. Aku masih teringat saat aku menggagai1 jerami di sawah, banyak belut dan ikan saat jerami diangkat ke galengan 2, aku paling senang tatkala ikan-ikan itu muncul kepermukaan atau jika tidak muncul airnya kami bedol. Selesai menggagai, kami membakar hasil dari gagaian tadi dan tak lupa ibuku menyiapkan sambal cobek sealakadarnya. Rasanya nikmat sekali ditambah dengan pemandangan sawah yang luas.

Jam 07.30, hari ini aku tidak masuk sekolah karena harus menjaga ibuku yang sedang sakit.
"Randy... jika seandainya nanti ibu meninggal jaga diri kamu yah" ucap ibuku diiringi tangis kecil namun pilu.
"Dan jangan sampai kamu putus sekolah, jika memang harus putus sekolah jangan sampai kamu meninggalkan pondok pesantren. ibu mau kamu menjadi anak yang soleh berbakti pada kedua orang tua..." tambahnya lagi sembari mengelus-elus rambutku. Aku tiduran dipangkuannya. Tak terasa air matanya menetas mengalir melalui pelipis matanya lalu menelusuri pipi keriputnya dan jatuh ke pipiku. Ibuku menangis seolah hari itu adalah hari terakhir bersamaku, anak terakhir yang paling disayang.
***

2 Minggu sudah berlalu. Ibuku masih terbaring lemas, sudah berbagai macam obat la minum namun penyakitnya tak kunjung sembuh. Hampir setiap hari rumahku ramai dikunjungi orang-orang yang menjenguk terutama ibu-ibu pengajian. Aku dan ayahku terkadang repot membereskan piring dan gelas-gelas bekas menjamu para tamu yang menjenguk. Maklum aku hanya tinggal bertiga dengan kedua orang tuaku. Saudaraku yang lain sudah berkeluarga semua jadi mereka sibuk dengan keluarganya sendiri.
Aku masih teringat dengan sikap kakakku, Asti, dia pernah berkunjung kerumahku namun itu juga karena ada undangan pernikahan tetanggaku. Dia hanya mampir sebentar setelah itu dia pergi lagi ke Jakarta. Seolah dia sama sekali tak perduli dengan kami. Suaminya Ade membuatnya seperti itu, mereka bahkan jarang berkunjung meski ibuku atau ayahku sedang sakit.

Rumahku yang tak bagus lagi malam ini banyak dikunjungi orang. Mulai dari tetangga hingga orang dari desa sebrang. Mereka terlihat sedih bercampur pilu saat aku memasuki rumahku. Aku baru pulang mengaji dari pondok pesantren yang juga tak jauh dari rumahku. Setiba aku dirumah, aku kaget saat saudaraku merangkulku dan mengatakan bahwa ibuku sedang Naza’3. Aku berlari menuju ibuku dan duduk lemas dekatnya, aku hanya bisa menangis sambil memegang tanggannya yang hangat...
Ibuku meninggalkan aku untuk selamanya setelah aku membacakan surat yasin dan kalimat "Laa Ilaaha Illallah"...



Ibu...
Aku masih ingat saat aku menangis didepanmu
Aku masih ingat saat aku membuatmu menangis
Aku masih ingat saat engkau mengelus-elus rambutku
Aku masih ingat saat engkau menumpahkan air mata jatuh keatas pipiku
Aku masih ingat saat engkau meregang nyawa

Ibu...
Aku ingin engkau kembali disini, didunia ini
Aku ingin engkau ada disetiap kepiluanku
Aku ingin engkau ada disetiap kesenanganku
Aku ingin berbagi denganmu
Hannya engkau pengobat laraku

Ibu...
Aku masih ingat saat engkau mengucap pesan
Aku masih ingat saat engkau mengusap airmataku
dipangkuanmu saat itu.
Aku masih ingat saat engkau melambai memegang tanganku erat

Ibu...
Kini kau telah tiada
Kini kau telah pergi jauh dan tak kembali
Kini aku sendiri tanpamu
Aku menangis disini, didunia yang kejam ini
Aku merindukan tanganmu yang lembut mengelus rambutku
Aku merindukan engkau wahai ibu...





Kamus :
(1)Gagai (bahasa sunda) mengangkat jerami yang sengaja di busukan ke pematang sawah atau galengan.
(2) Galengan = Pematang sawah
(3)Naza’ = Sakaratul maut




This is my true short story :(



0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More